K.H. Baha'uddin (Gus Bahak)
Sewaktu menyantri di daerah Sarang, saya jadi tidak asing lagi mendengar nama Gus Bahak, orang alim yang sering dibicarakan teman-teman saya itu baru hanya bisa saya kenal lebih dekat lewat ceramah-ceramah beliau yang banyak di dokumentasikan lewat bentuk audio MP3, gaya bicaranya yang khas, ceplas ceplos tapi ilmiah, maksud saya sangat ilmiah. Membuat saya dan mungkin seluruh pendengar merasa ingin terus mendengarkan dengan seksama. Bahasa hiperbolanya “ bagaimana bisa ada orang se-alim itu “. Atau seperti pujian Prof. Dr. Quraisy Syihab “sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Quran hingga detail-detail Fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat al Qur'an seperti pak Baha'...".
Ulama karismatik yang enggan disorot media ini berasal dari Narukan, sebuah desa yang berada di kecamatan Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Meskipun enggan dipublikasikan, ke-Aliman beliau tetap membuat beliau banyak dikenal Masyarakat, bahkan di kalangan intelektual.
Semenjak kecil beliau mendapat didikan langsung dari ayahnya, KH. Nur Salim. terutama dalam membaca Al-Quran, KH. Nur Salim ini ternyata adalah murid KH. Arwani Kudus. Tak heran jika ayah beliau sangat ketat dalam tajwid Al-Quran, Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid mbah Arwani mengetrapkan ketetatan dalam tajwid dan makhorijul huruf. Gus Bahak ini sudah menghatamkan Al-Quran bahkan sejak umur beliau masih sangat belia. Disertai dengan bacaan tajwid yang ketat
Dalam masa selanjutnya, KH. Nur Salim menitipkan beliau ke pondok pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang yang diasuh oleh KH. Maimoen Zubair. Siapa sangka minat belajar beliau di pesantren ini sangat besar, dan dengan antusiasme yang tinggi ini beliau menguasai banyak fan ilmu. Sampai-sampai ketika akan ikut kegiatan musyawarah di pesantren tersebut, beliau serta merta ditolak oleh teman-temannya, karena dianggap sudah tidak berada di level mereka, bahkan jauh.
Shohih Bukhori pun beliau khatamkan di sini, lengkap dengan sanad dan matannya. Sebuah prestasi yang sulit ditandingi oleh santri lain. Selain hafalan-hafalan wajib beliau juga menghatamkan Fathul Muin, hal ini menjadikan beliau seorang santri dengan hafalan terbanyak di era beliau.
Prestasi ini membuat beliau menjadi seorang santri yang sangat disayangi oleh KH. Maimoen Zubair, dalam berbagai keperluan Gus Bahak juga sering diberi kesempatan oleh Mbah Mun untuk menemani beliau, baik dalam masalah ringan seperti berbincang-bincang santai sampai urusan mencari dalil hukum, Gus Bahak memang ahlinya dalam masalah ini, bahkan sangat cepat dalam mencari ta’bir suatu permasalahan.. Mbah Mun pun kerap mamuji Gus Bahak “ Iyo Ha’, koe pancen ‘alim “.
Selain itu Mbah Mun juga kerap menjadikan Gus Bahak sebagai contoh santri teladan, Gus Bahak merupakan santri ideal yang kerap dipuji Pengasuh pondok pesantren Al-Anwar ini “ Santri Tenan iku yo koyo Bahak iku “ terang Mbah Mun kepada santri-santri lain di sela-sela Mauidzohnya.
Pada suatu kesempatan KH. Nur Salim, ayah Gus Bahak sempat menawari beliau untuk melanjutkan studi ke Yaman, namun beliau lebih memilih menetap di Sarang, dan berkhidmat di Madrasah Ghozaliyah Syafiiyah. Dan juga mengajar di pesantren beliau sendiri LP3IA.
Gus Bahak memang hanya mengenyam pendidikan di dua pesantren berbeda, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan di Pondoknya KH. Maimoen Zubair, Al-Anwar Sarang. Meski begitu, kedalaman ilmu beliau sungguh sangat luas.
Setelah bertahun-tahun menyantri akhirnya beliau dipilihkan seorang calon istri oleh paman beliau, ia adalah putri dari salah seorang pengasuh pesantren di Sidogiri, atau dalam budaya pesantren biasa di panggil Neng.
Kesederhanaan hidup yang diajarkan ayah beliau sudah sangat melekat dalam keseharian beliau, sehingga seusai lamaran pun beliau langsung mengutarakan kepada mertuanya bahwa kehidupan glamour bukanlah model kehidupan beliau, melainkan kesederhanaan hidup. Dan kembali beliau mayakinkan mertuanya, untuk berfikir ulang tentang menjadikan Gus Bahak sebagai menantu, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Hal ini juga terbukti kemudian hari kala beliau hendak melangsungkan akad nikah di kediaman mertua beliau. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menaikibis regular kelas ekonomi, dari Pandangan, Sarang sampai ke tempat akad nikah, yakni Pasuruan. Namun entah disangka mertuanya justru menimpali “ Klop “, yang menandakan bahwa apa yang ia fikirkan searah dengan apa yang diutarakan calon mantunya itu.
Gaya hidup sederhana ini memang telah diajarkan oleh ayah beliau, KH Nur Salim. Memang sudah menjadi tradisi dalam silsilah keluarga beliau unutk hidup dalam kesederhanaan, bahkan ayah beliau sempat berwasiat agar beliau jangan sampai berkeinginan untuk menjadi manusia mulya dari pandangan makhluk, hal ini bukan lantaran kelauarga beliau adalah keluarga yang kurang mampu atau tidak berkecukupan, bahkan kakek beliau merupakan juragan tanah, bisa dibayangkan pada zaman itu, bagaimana juragan tanah menjadi orang terhormat dan kaya daripada kalangan lain. Menurut beliau, kesederhanaan ini juga merupakan karakter keluarga Quran yang telah dipegang erat sejak zaman leluhurnya.
Semenjak tahun 2003 beliau mulai menetap di daerah Jogja, dan disana beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecil beliau, memulai hidup baru dengan lebih mandiri, dan tetap sederhana.
Namun kepindahan beliau ke Jogja membuat para santri-santri beliau seakan kehilangan induknya, sehingga sebagian dari mereka memilih untuk menyusul beliau ke Jogja dan kemudian menyewa rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman beliau. Hal ini mereka lakukan lantaran masih sangat ingin menimba ilmu dan ngaji kepada Gus Bahak.
Kealiman beliau membuat beliau dikenal masyarakat sekitar dan lama-kelamaan banyak pula masyarakat yang juga ikut ngaji. Sampai pada tahun 2005, sebuah ujian datang. Ayah beliau KH Nur Salim jatuh sakit, semenjak saat itu beliau pulang, diikuti pula oleh ke empat saudaranya, beberapa bulan kemudian ayah beliau meninggal dunia.
Karena diberi amanah untuk meneruskan estafet kepengasuhan di LP3IA, maka Gus Bahak tidak bisa kembali menetap di Jogja agar dapat memenuhi amanah yang diembankan oleh ayahnya ini. Hingga akhrinya beliau hanya sempat mengajar kembali di sana namun hanya satu bulan sekali.
Selain aktif mengajar, Gus Bahak Juga mengabdikan diri di Lembaga Tafsir Al-Quran Universitas Islam Indinesia ( UII ) Yogyakarta. Dalam tim pengkaji Al-Quran ini beliau menjadi ketua Tim Lajnah Mushaf UII bersama para tim lain yang kebanyakan adalah kalangan akademis, baik para Doktor, Profesor dan para akademisi lain seperti Prof.Dr.Quraisy Syihab, Prof.Zaini Dahlan, Prof.Shohib, dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yg lain.
Pernah pada suatu ketika beliau hendak diberi gelar Doktor Honoris Causa dari Uii, namun beliau tidak berkenan. Dan hal ini tetap menjadikan beliau satu-satunya anggota dewan tafsir yang berlatar belakang pesantren murni, tanpa pendidikan formal dan tanpa gelar akademis.
Hingga sekarang beliau juga aktif mengajar di berbagai lembaga pendidikan, salah satunya sekolah tinggi Al-Anwar, sebuah kampus yang didirikan oleh KH. Maimoen Zubair untuk emnampung santri akademis, dan menampung mahasiswa yang mampu membaca kitab.
Jadi inilaha Gus Bahak, sosok ulama dengan kesederhanaan. Ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hadits dan ahli dalam fan-fan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar